Jumat, 31 Desember 2010

5. ARTIKEL - TARI JAIPONG

      Jaipongan adalah sebuah genre seni tari yang lahir dari kreativitas seorang seniman asal Bandung, Gugum Gumbira. Perhatiannya pada kesenian rakyat yang salah satunya adalah Ketuk Tilu menjadikannya mengetahui dan mengenal betul perbendaharan pola-pola gerak tari tradisi yang ada pada Kliningan/Bajidoran atau Ketuk Tilu. Gerak-gerak bukaan, pencugan, nibakeun dan beberapa ragam gerak mincid dari beberapa kesenian di atas cukup memiliki inspirasi untuk mengembangkan tari atau kesenian yang kini dikenal dengan nama Jaipongan. Sebelum bentuk seni pertunjukan ini muncul, ada beberapa pengaruh yang melatarbelakangi bentuk tari pergaulan ini. Di Jawa Barat misalnya, tari pergaulan merupakan pengaruh dari Ball Room, yang biasanya dalam pertunjukan tari-tari pergaulan tak lepas dari keberadaan ronggeng dan pamogoran. Ronggeng dalam tari pergaulan tidak lagi berfungsi untuk kegiatan upacara, tetapi untuk hiburan atau cara gaul. 

      Keberadaan ronggeng dalam seni pertunjukan memiliki daya tarik yang mengundang simpati kaum pamogoran. Misalnya pada tari Ketuk Tilu yang begitu dikenal oleh masyarakat Sunda, diperkirakan kesenian ini populer sekitar tahun 1916. Sebagai seni pertunjukan rakyat, kesenian ini hanya didukung oleh unsur-unsur sederhana, seperti waditra yang meliputi rebab, kendang, dua buah kulanter, tiga buah ketuk, dan gong. Demikian pula dengan gerak-gerak tarinya yang tidak memiliki pola gerak yang baku, kostum penari yang sederhana sebagai cerminan kerakyatan. Seiring dengan memudarnya jenis kesenian di atas, mantan pamogoran (penonton yang berperan aktif dalam seni pertunjukan Ketuk Tilu/Doger/Tayub) beralih perhatiannya pada seni pertunjukan Kliningan, yang di daerah Pantai Utara Jawa Barat (Karawang, Bekasi, Purwakarta, Indramayu, dan Subang) dikenal dengan sebutan Kliningan Bajidoran yang pola tarinya maupun peristiwa pertunjukannya mempunyai kemiripan dengan kesenian sebelumnya (Ketuk Tilu/Doger/Tayub).

      Dalam pada itu, eksistensi tari-tarian dalam Topeng Banjet cukup digemari, khususnya di Karawang, di mana beberapa pola gerak Bajidoran diambil dari tarian dalam Topeng Banjet ini. Secara koreografis tarian itu masih menampakan pola-pola tradisi (Ketuk Tilu) yang mengandung unsur gerak-gerak bukaan, pencugan, nibakeun dan beberapa ragam gerak mincid yang pada gilirannya menjadi dasar penciptaan tari Jaipongan. Beberapa gerak-gerak dasar tari Jaipongan selain dari Ketuk Tilu, Ibing Bajidor serta Topeng Banjet adalah Tayuban dan Pencak Silat. Kemunculan tarian karya Gugum Gumbira pada awalnya disebut Ketuk Tilu perkembangan, yang memang karena dasar tarian itu merupakan pengembangan dari Ketuk Tilu. Karya pertama Gugum Gumbira masih sangat kental dengan warna ibing Ketuk Tilu, baik dari segi koreografi maupun iringannya, yang kemudian tarian itu menjadi populer dengan sebutan Jaipongan.


      Karya Jaipongan pertama yang mulai dikenal oleh masyarakat adalah tari "Daun Pulus Keser Bojong" dan "Rendeng Bojong" yang keduanya merupakan jenis tari putri dan tari berpasangan (putra dan putri). Dari tarian itu muncul beberapa nama penari Jaipongan yang handal seperti Tati Saleh, Yeti Mamat, Eli Somali, dan Pepen Dedi Kurniadi. Awal kemunculan tarian tersebut sempat menjadi perbincangan, yang isu sentralnya adalah gerakan yang erotis dan vulgar. Namun dari ekspos beberapa media cetak, nama Gugum Gumbira mulai dikenal masyarakat, apalagi setelah tari Jaipongan pada tahun 1980 dipentaskan di TVRI stasiun pusat Jakarta. Dampak dari kepopuleran tersebut lebih meningkatkan frekuensi pertunjukan, baik di media televisi, hajatan maupun perayaan-perayaan yang diselenggarakan oleh pihak swasta dan pemerintah.


      Kehadiran Jaipongan memberikan kontribusi yang cukup besar terhadap para penggiat seni tari untuk lebih aktif lagi menggali jenis tarian rakyat yang sebelumnya kurang perhatian. Dengan munculnya tari Jaipongan, dimanfaatkan oleh para penggiat seni tari untuk menyelenggarakan kursus-kursus tari Jaipongan, dimanfaatkan pula oleh pengusaha pub-pub malam sebagai pemikat tamu undangan, dimana perkembangan lebih lanjut peluang usaha semacam ini dibentuk oleh para penggiat tari sebagai usaha pemberdayaan ekonomi dengan nama Sanggar Tari atau grup-grup di beberapa daerah wilayah Jawa Barat, misalnya di Subang dengan Jaipongan gaya "kaleran" (utara).


      Ciri khas Jaipongan gaya kaleran, yakni keceriaan, erotis, humoris, semangat, spontanitas, dan kesederhanaan (alami, apa adanya). Hal itu tercermin dalam pola penyajian tari pada pertunjukannya, ada yang diberi pola (Ibing Pola) seperti pada seni Jaipongan yang ada di Bandung, juga ada pula tarian yang tidak dipola (Ibing Saka), misalnya pada seni Jaipongan Subang dan Karawang. Istilah ini dapat kita temui pada Jaipongan gaya kaleran, terutama di daerah Subang.
Dalam penyajiannya, Jaipongan gaya kaleran ini, sebagai berikut: 
1) Tatalu
2) Kembang Gadung
3) Buah Kawung Gopar
4) Tari Pembukaan (Ibing Pola), biasanya dibawakan oleh penari tunggal atau Sinden Tatandakan (serang sinden tapi tidak bisa nyanyi melainkan menarikan lagu sinden/juru kawih)
5) Jeblokan dan Jabanan merupakan bagian pertunjukan ketika para penonton (bajidor) sawer uang (jabanan) sambil salam tempel. Istilah jeblokan diartikan sebagai pasangan yang menetap antara sinden dan penonton (bajidor).


      Perkembangan selanjutnya tari Jaipongan terjadi pada taahun 1980-1990-an, di mana Gugum Gumbira menciptakan tari lainnya seperti Toka-toka, Setra Sari, Sonteng, Pencug, Kuntul Mangut, Iring-iring Daun Puring, Rawayan, dan Tari Kawung Anten. Dari tarian-tarian tersebut muncul beberapa penari Jaipongan yang handal antara lain Iceu Effendi, Yumiati Mandiri, Miming Mintarsih, Nani, Erna, Mira Tejaningrum, Ine Dinar, Ega, Nuni, Cepy, Agah, Aa Suryabrata, dan Asep.
Dewasa ini tari Jaipongan boleh disebut sebagai salah satu identitas keseniaan Jawa Barat, hal ini nampak pada beberapa acara-acara penting yang berkenaan dengan tamu dari negara asing yang datang ke Jawa Barat, maka disambut dengan pertunjukan tari Jaipongan. Demikian pula dengan misi-misi kesenian ke manca negara senantiasa dilengkapi dengan tari Jaipongan. Tari Jaipongan banyak mempengaruhi kesenian-kesenian lain yang ada di masyarakat Jawa Barat, baik pada seni pertunjukan wayang, degung, genjring/terbangan, kacapi jaipong, dan hampir semua pertunjukan rakyat maupun pada musik dangdut modern yang dikolaborasikan dengan Jaipong menjadi kesenian Pong-Dut.Jaipongan yang telah diplopori oleh Mr. Nur & Leni

SUMBER : Buku SMA “Kesenian&Keterampilan”- YUDHISTIRA selebihnya dikembangkan oleh saya

SYIFA NURJUANITA
16210802
1EA19


http://chipachupz.blogspot.com/2010/12/tari-jaipong.html

4. ARTIKEL - KONFLIK KEBUDAYAAN ANTARA TIMUR DAN BARAT


      Perdebatan terhadap budaya tradisional dan moderen dalam pergumulan kebudayaan Barat dan Timur pada era yang disebut globalisasi tidak habis-habisnya hingga hari ini, bahkan tidak mungkian pernah selesai. Kebudayaan Barat kadang-kadang dipandang sebagai budaya haram yang menghancurkan nilai-nilai kebudayaan tradisional yang dianggap luhur. Kebudayaan modern yang menumbuhkan kebudayaan baru yang disebut budaya populer sepertinya telah mampu menembus celah-celah kehidupan berbudaya bangsa timur, termasuk kebudayaan Minangkabau. Untuk melakukan perlawan terhadap kebudayaan Barat tersebut, para kelompok antisisme budaya Barat sering mencanangkan kampanye terhadap pengaruh budaya barat terhadap perusakan moral anak bangsa. Kebudayaan Barat, dalam hal seni moderen (musik, tari, teater, filem, dsb) seakan-akan titik awal perosakan kebudayaan timur.
        
Akibat daripada perkembangan teknologi informasi dan komunikasi yang bermula dari Barat juga telah menembus sendi-sendi kehidupan masyarakat Indonesia dalam mempermudah hubungan manusia dengan dunia luar. Manusia dapat menikamti berbagai peristiwa yang terjadi  melalui media komunikasi dan informamsi yang berteknologi moderen yang disebut dunia maya, seperti televisi, internet, video-video  melalui media player dan sebagainya.


      Merujuk kepada peristiwa budaya masa lampau yang disebut zaman kebudayaan sasaran dan surau di Minangkabau yang kehidupan masyarakatnya sangat didominasi oleh kebudayaan lokal. Teknologi informasi sebagaimana adanya hari ini belum lagi dikenal pada masa itu. Teknologi informasi masyarakat lebih banyak kepada tradisi lisan antara satu orang dengan orang lainnya, atau menggunakan simbol-simbol tertentu yang memberikan makna tertentu pula kepada masyarakat.
Kebudayaan yang berkembang di sasaran berupa kesenian dan adat istiadat telah mampu mengajak generasi mudanya kepada masyarakat yang beradat, tahu nan ampek. Manakala pendidikan surau dan kebudayaan yang bernuansa islami telah mampu mengantarkan anak bangsa Minangkabau menjadi orang nan sabana orang yang berbudi mulia, dan taat beragama. Artinya pendidikan sasaran dan surau telah mampu menghasilkan generasi yang berintelektual kebangsaan. Pendidikan sasaran dan pendidikan surau bagaikan aur dengan tebing, sandar menyandar keduanya dalam mengisi keperibadian generasi penerus bangsa. Kenapa generasi sekarang sekarang sering mengagungkan masa lampau itu? Benarkah pendidikan Barat telah meluluhlantakkan budaya sasaran dan meruntuhkan surau, sebagaimana prediksi A.A Navis dalam robohnya surau kami? 


      Kedua pertanyaan di atas perlu dijawab oleh setiap masyarakat Minangkabau. Percaya atau tidak, kedua institusi tradisional tersebut (sasaran dan surau) dalam perkembangan kebudayaan moderen yang dipengaruhi budaya Barat telah mengalami suatu dilema kebudayaan yang sarat dengan pertentangan antar generasi (generasi tua dengan muda, pemerhati budaya tradisional dengan aliran modernisme). Dalam hai ini, peristiwa sejarah kebudayaan Minangkabau masa lampau dan sekarang adalah sesuatu yang selalu saja menarik diperbincangkan oleh ilmuan. Ketika  runtuhnya rezim Orde Baru, dan bergulirnya reformasi, ditindak lanjuti pula dengan otonomi daerah merupakan sesuatu yang menarik dalam perjalanan kebudayaan Indonesia, khususnya Minangkabau. Otonomi daerah membuka ruang kepada daerah-darah mengatur dirinya sendiri demi kemajuan daerah. Daerah disarankan untuk mebali kepada nilai-nilai lama yang masih relevan dengan perkembangan kebudayaan masa kini. Daerah dianjurkan pula untuk memikirkan bagaimana kesejahteraan rakyat meningkat, mengentaskan kemiskinan dan sebagainya.


      Bagi masyarakat Sumatera Barat, yang lebih populer dengan etnik Minangkabau memanfaatkan fenomena demikian untuk membuka kembali lembaran sejarah lama yang dianggap berjaya melahirkan generasi bangsa yang intelektual. Masyarakatnya yang hidup dalam kelompok nagari-nagari bagaikan sebuah negara kecil yang mampu menghidupi diri sendiri untuk mencapai kesejahteraan dan mencerdaskan anak nagarinya. Kebudayaan anak nagari hidup mekar sebagai media pendidikan dan hiburan masyarakat satu-satunya. Kesenian anak nagari adalah primadona tontonan yang ampuh dalam membawa generasi yang  berbudaya. Pendidikan surau telah mempu membawa generasi muda yang bermoral dan berbudi mulia dengan landasan Al-quran dan sunnah rasul. Dalam hal ini memegang teguh falsafah adat bersendi syarak, syarak bersendi kitabullah.


      Menyikapi fenomena masa lampau itu, bagi pemerintah daerah Sumatera Barat, otonomi daerah adalah ruang yang amat penting dipergunakan untuk kembali membuka tabir lama yang pernah cemerlang, istilah yang lebih populer adalah ”kembali ke nagari dan kembali ke surau” untuk membangkit batang tarandam, setelah puluhan tahun terbenam dalam konsep sentralistik. Kembali kepada pertentangan kebudayaan Barat dan Timur, sebagian masyarakat seakan-akan memilih sikap alergi terhadap kebudayaan Barat yang merajalela membawa generasi muda ini kepada suatu pola kehidupan budaya moderen. Kecemerlangan masa lampau bagaikan tergilas habis oleh perang kebudayaan. Konsep kebudayaan yang kuat membilas kebudayaan lemah. Kebudayaan barat tidak hanya masuk kepada kebuyaan lokal tradisional untuk menyesuaikan diri, melainkan mempengaruhi kebudayaan tempatan untuk berubah menuju budaya populer yang moderen.


      Persoalan sekarang, mungkinkah kebudayaan Barat itu kita halangi masuk ke daerah-daerah yang notabene tradisional dalam perkembangan teknologi informasi dan komunikasi yang marak dikampanyekan. Tentu amat sulit menjawabnya. Kembali ke nagari dan kembali ke surau bukan berarti kita kembali mamatikan lampu listrik dan kembali kepada lampu promak, suluh daun kelapa pergi ke surau dan menonton pertunjukan kesenian anak nagari, dan sebagainya. Melainkan, mengambil roh kecemerlangan budaya masa lampau untuk mengantisipasi berkembangnya budaya barat yang moderen. Menyikapi fenomena di atas, secara kontinyu kebudayaan daerah  seharusnya dikembangkan untuk mempertahankan hak hidupnya dalam gejolak persentuhan budaya antara Barat dan Timur, antara tradisional dengan moderen. Perubahan bentuk dan fungsi suatu kebudayaan seharusnya mampu membawa nilai-nilai yang masih dianggap relevan bertahan atau dikembangkan.


      Oleh karena itu, usaha untuk “mereaktualisasikan” kebudayaan tradisional untuk membuat aktif atau mengembangkan nilai-nilai hidup yang masih relevan dan hayati dengan kreatif sangat penting. Dalam percaturan kebudayaan Barat dan Timur, kebudayaan tradisional kalaupun tidak dapat dipertahankan sebagaimana adanya, paling tidak menutup kemungkinan dikembangkan sesuai dengan raso jo pareso dalam tatanan alur dan patut. Artinya, antara kebudayaan Barat yang dianggap moderen dan Timur yang dianggap tradisional tidak perlu menjadi perbincangan atau dipertentangkan saja, akan tetapi perlu sikap kepiawaian dalam mempertahankan atau menggabungkan dalam bentuk peristiwa akulturasi kebudayaan. Bagaimanapun juga, proses perubahan kebudayaan akibat persentuhan kebudayaan akan tetap terjadi, baik disebabkan faktor internal maupun eksternal. Oleh karena itu, sikap pemerintah Sumatera Barat yang mencanangkan kembali ke nagari dan kembali ke surau adalah suatu ruang yang tepat untuk membangun kembali budaya lama yang masih relevan, dan dikembangkan dalam masyarakat menuju budaya moderen. Kebudayaan dan kesenian bernuansa Islam yang semula berkembang di surau-surau sepatutnya dapat dikembangkan dengan membawa misi keagamaan.  Kesenian anak nagari yang hidup dan berkembang di sasaran juga kembali bangkit dengan membawa misi adat istiadat Minangkabau.

      Persoalan berikutnya adalah, sudah sejauh mana pelaksanaan otonomi daerah dalam konsep kembali ke nagari dan kembali ke surau relevan dilaksanakan hingga hari ini. Siapakah yang bertanggungjawab untuk menjawab probelema kebudayaan Minangkabau yang terebar di nagari-nagari. Kemudian, sudah sejauh mana peranan dinas pariwisata seni dan budaya dalam menjawab tantangan kebudayaan. Pertanyaan berikutnya, sudah sejauh mana pula lembaga-lembaga kesenian melakukan kiprahnya dalam pembangunan seni budaya ranah bundo. Sudah pernahkan semuanya ini duduk seamparan membincangkan strategi pelestarian, pengembangan kebudayaan daerah menatap pergulatan budaya Barat yang modern.


Sumber : Buku SMA “Sosiologi”- YUDHISTIRA selebihnya dikembangkan oleh saya.

SYIFA NURJUANITA
16210802
1EA19

http://chipachupz.blogspot.com/2010/12/konflik-kebudayaan-antara-timur-dan.html